Aku Ingin Menulis

Ilustrasi Aku Ingin Menulis
Panas, sesak dan membosankan. Itulah yang kurasakan saat ini. Perasaan – perasaan ini mendorongku untuk segera menggerakkan kaki – kaki lemah ini. Kaki ini bergerak melangkah entah ke mana hingga rasa bosan yang sempat mampir ini pergi.



Aku pun terhenti di suatu tempat yang tidak terlalu ramai namun tidak pula terlalu sepi. Sebelum aku sampai, aku sudah mempersiapkan tiga lembar kertas yang aku ambil dari binder kuliahku. Tak lupa juga kubawa dua buah pulpen sebagai alat tulis serta beberapa buku untuk aku baca.

“Aku ingin menulis”. Seperti itulah teriakan suara hatiku saat ini, sampai – sampai ia mampu untuk menggerakkan jari jemariku untuk segera mengambil pulpen, kertas dan buku dari dalam tasku. Tanpa panjang pikir, segera kugoreskan tinta hitam di atas kertas yang masih hanya terdapat garis – garis pembatas.

Kutengokkan pandanganku sejenak ke sebelah kanan, kemudian aku melihat seekor kuda, pak kusir beserta penumpangnya yang dengan gagahnya melalui aku yang sedang asyik menulis. “Sudah lama aku tak melihat pemandangan yang seperti ini”, bisik hati kecilku. Aku sungguh bersyukur Allah mengizinkanku untuk melihat pemandangan yang cukup “menenangkan” di tengah ibukota yang penuh sesak ini.

Teringat di kala Om Jay (senior serta mentorku dalam menulis) meminjamkanku sebuah buku yang berjudul “Menulislah Seperti Shalat” karya Dr. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd. Baru beberapa halaman kubaca, aku langsung terpikat oleh gaya penulisannya serta kagum atas komitmen penulisnya dalam menulis. Salah satu ungkapan tersirat yang di tuangkan dalam buku tersebut ialah “menulis itu bagaikan salat, maka apabila sehari saja ia tidak menulis, ia akan merasa sangat berdosa sebagaimana perasaan dosa ketika meninggalkan shalat”. Sungguh ungkapan yang luar biasa.

Matahari tidak begitu terik, namun kerongkongan ini sudah mengering. Sayangnya, barang – barang yang kubawa hanya buku, kertas, pulpen dan jas hujan saja. Aku melihat ke sekitar, kemudian aku menemukan abang penjual es tebu tidak jauh dari tempatku menulis.

Sluuuppp.. ahh.. Alhamdulillah, aku masih diizinkan meminum beberapa tenggak es tebu yang nikmat ini.

Setelah kerongkongan mulai kembali basah, aku pun melanjutkan kegiatan menulisku. Sejujurnya, sudah sangat lama aku tidak menulis karangan bebas dengan hanya modal dasar pulpen, kertas dan buku. Biasanya aku lebih sering menggunakan laptop pemberian Orang Tuaku. Hal ini membuatku sedikit gugup dalam menulis. Namun, kekagumanku pada tulisan bapak Nusa dalam buku “Menulislah Seperti Shalat” membuat motivasiku dalam menulis mengalahkan rasa gugup ini.

Keretek, plang, keretek, plang. Suara mesin yang sedang menancapkan pasak bumi memecahkan keheningan sesaat. Namun, tak lama kemudian mesin itu berhenti beroperasi. Kembali ku tengokkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Melihat – lihat pemandangan sembari di sejukkan oleh lambaian angin yang cukup kencan. Kemudian aku melihat ke arah langit. Kutemukan dari kejauhan awan yang cukup gelap. Aku berharap, semoga hujan tidak datang saat ini, agar suasana gembira orang – orang di sekitarku tidak segera menghilang dari pandanganku.

Tak jauh dari tempatku menulis, ada beberapa anak sedang asyik bermain. Ada yang bermain mobil mini, ada pula anak yang bermain dengan kuda tunggangan. Aku sangat senang bisa melihat wajah polos anak – anak yang bermain dengan riangnya. Hal ini mengingatkanku akan senyum manis nan polos adikku ‘Ahmad Syaukani’ pada saat pertama kali menunggangi kuda.

Aku sungguh senang bisa merekam semua peristiwa ini dalam tulisanku. Aku juga senang bisa menuliskannya saat itu juga. Alhamdulillah, tak salah rasanya aku dalam memilih tempat untuk menulis. Akan tetapi, aku merasa cukup ironi. Di saat aku melihat anak – anak yang sedang asyik bermain dan juga para orang tua yang senang melihat anak – anaknya bermain dengan ceria, ada sejumlah anak muda yang berbeda jenis kelamin duduk berduaan dengan mesra. Dari tempatku menulis dengan mudah aku bisa melihat banyak dari sejumlah pasangan muda mudik ini hanya terjebak pada permainan ‘cinta monyet’ saja. Mudah – mudahan sejumlah pasangan muda yang ‘cinta monyet’ itu tidak sampai berbuat hal – hal yang ‘kelewatan’.

Ku ambil handphone ku, kemudian aku dipaparkan oleh tulisan “03:38 PM” dari layar handphone ku. Segera kuhentikan sejenak aktivitas menulisku untuk kemudian segera mencari masjid terdekat.

Segera ku kenakan helm dan kemudian memutar perlahan tuas gas motorku. Aku pun berputar – putar mencari masjid. Maklum aku belum begitu mengenal daerah yang kulalui.

Setelah sekitar sepuluh menit, aku terhenti di depan gedung pelayanan kesehatan. Tepat di seberang gedung aku melihat sebuah masjid. Lalu ku arahkan motorku ke arah masjid tersebut. Akan tetapi, aku berputar sedikit ke arah masjid lain tak jauh dari masjid awal. Sungguh amat di sayangkan, masjid yang ku dapati tidak punya lahan parkir untuk motorku ini. Kemudian aku pun kembali ke masjid yang awal dan segera melaksanakan salat asar.

Seusai salat, hati ini menjadi semakin damai. Setelah itu aku kembali bersemangat untuk melanjutkan menulis. Sungguh sangat asyik ketika menulis langsung di dekat objek yang ingin ditulis.

Kembali teringat akan perkataan beberapa senior, teman maupun guruku dalam menulis. “Menulis itu tidak susah, cukup duduk dan kemudian tuliskan apa yang ada di pikiran”. Dengan berpedoman pada pernyataan ini, aku membawa diri untuk menjadi orang yang suka menulis. Karena orang yang suka menulis tentulah orang yang senang dalam membaca. Dan orang yang senang membaca sudah barang tentu memiliki banyak ilmu. Dengan banyak ilmu, maka akan membawa dampak besar bagi diri pribadi maupun lingkungan. Orang yang membawa dampak besar ini yang kemudian akan mengarahkan lingkungannya. Baik ke arah yang benatu maupun ke arah yang tidak benar.

Melalui pandangan – pandangan tersebut, aku ingin terus memotivasi diri untuk menulis. Agar aku bisa mengubah “image” para pemuda Indonesia sekarang. Dari pemuda yang malas membaca dan menulis, menjadi pemuda produktif yang semangat dalam membaca dan menulis. Dari pemuda yang sempit ilmu, menjadi pemuda yang luas ilmu. Dari pemuda yang kurang teladan, menjadi pemuda yang patut diteladani. Seperti itulah dorongan – dorongan motivasi untuk terus berkomitmen dalam menulis. Jadi, buat teman – teman yang belum coba menulis. Ayo segera menulis dan buat perubahan bangsa Indonesia ini melalui tulisan. Selamat menulis.

Comments